Kinisebuah ruang
kusam kamar mandi dan sumur tua, disulapnya menjadi kolam yang berbangku,
bertaman dan berbunga. Agar mereka ( Kakak -Adik, Laki-laki dan perempuan )
dapat mengingat masa-masa kecilnya, dimana mereka dapat bermain, bermanja dan dimandikan
oleh ibunya. Banyak burung lalu lalang di mata air kolam tersebut. Mulai dari
yang berpasang, berkejar kejaran dan ada juga anak burung bermanja dengan induknya.
Terlihat burung yang bertengger sendiri dan bernyanyi. Dia Si kakak tersedar,
bahwa memang kelak suatu saat kitaakan
seperti itu.
Pagi, rengekan si bungsu mencari ibunya pecah, memecah rumah
bambu beralas tanah.
Si Kakak terdiam, dia sudah dewasa. Ya, memang rindu
diungkapkan lewat tangis emosi seorang bocah.
Si bapak dari persawahan, dengan badan masih berkeringat dan
berlumpur segera mendekap dan melekatkan jantungnya kepada si bungsu. Ia ikut
merasakan, dan ia lebih dulu merasakan beban rindu yang ia terima. Tak hanya
itu, ia pikul dua sosok dalam kehidupan ini.
Sebelum berangkat untuk merantau ke negeri sebrang, ibu tak
mau melihat kedua anaknya. Ia takut sedih dan membuaut sedih. Si Bapak
bersikeras, berteriak , “iki yo anakmu,
gagasen”. Kata-kata bercorak bahasa jawa dengan nada tinggi itu keluar, setelah
Bapak mengajak aku, dan adekku yang masih menangis menemui ibu yang berada di
rumah paman, yang akan melangsungkan hajatan. Tampak kerumunan, bahu-membahu
membuat pernak-pernik untuk kelengkapan hajatan pernikahan tersebut. Namun
bapak tak perduli. Demi tangis si anak, ia sampaikan apa yang ia rasakan.
Setahun ada kabar dari negeri sebrang tentang ibu, lambat
laun tak ada kabar. Kini Si adek sudah terbiasa hidup madiri, sudah pintar
masak. Walau cuma goreng telur dan masak mie,… hehhe,.
Kini Si Burung dewasa sudah bernyanyi, namun rindu masih
terkadang terisak dikala sepi di tepian kolam bekas kamar madi tua.